Posts tagged ‘Demokrasi’

November 8, 2009

Hukum dan Hati Nurani

Melihat kasus yang populer disebut kasus“cicak dan buaya” itu kemaren membuat saya sedikit mengernyitkan dahi. Masalah tersebut beberapa hari ini terus menghiasi media baik cetak dan elektronik  yang terus berlomba-lomba menyajikan info teraktual mengenai masalah tersebut.

                Rekaman yang merupakan kunci kasus telah dibeberkan, dan sebagian masyarakat dari kalangan intelektual maupun buta hukum mengikuti . Mungkin diantaranya bahkan bisa memahami secara jelas.

Nah, disini saya hanya memberikan pandangan saya untuk para advokat dan pengacara. Seperti yang diketahui bersama bahwa profesi pengacara adalah profesi yang menjadi pembela seseorang yang terkena perkara hukum. Tentu pembela merupakan pihak yang membela dan memberikan bantuan hukum kepada kliennya. Namun, terkadang seseorang pengacara dengan gayanya tidak menyadari bahwa “profesi-nya” itu yang pertama haruslah berlandaskan kebenaran dan keadilan. Sekarang, tampak sangat jelas bahwa banyak para pengacara atau advokat sebegitu mudahnya “menjual” kebenaran dan keadilan itu dengan “profesi”. Bahkan, yang sangat keterlaluan adalah seorang pengacara atau advokat senior yang memainkan pasal-pasal untuk memutar balikkan konsekuensi dan berupaya untuk melindungi seorang kliennya yang jelas-jelas bersalah.

Ketika dua orang advokat senior sedang berdebat misalnya, tentu saja  saya tidak akan bisa menyaingi mereka tentang pengetahuan pasal-pasal hukum atau sejenisnya. Namun yang saya tangkap, beberapa advokat senior itu terkadang ngotot dan bersikeras dengan pasal-pasal dan logika hukumnya walaupun secara sepintas mereka itu kadang “hanya mendasarkan pada ke’pakar’an-nya atau sombong”. Jika begitu, kebenaran mungkin akan menjadi suatu komoditas yang merupakan “lahan” bagi para advokat yang bekerja untuk uang dan bukan berkerja untuk suatu kebenaran dan keadilan. Pastinya, hukum pun akan selalu bisa dipermainkan dan “rapuh” sehingga seperti saat ini, masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada perangkat dan lembaga hukum yang terlalu banyak torehan nilai merahnya.

                Mungkin ketika mereka dulu, para advokat itu belajar hukum mereka kurang dididik dengan budi perkerti dan ahlaq yang benar. Bahkan, terkadang mereka itu lupa ataukah melupakan ataukah mereka itu memang bodoh bahwa hukum itu ada karena “substansi” nya. Tentu saja substansinya secara global merupakan penegakan kebenaran, keadilan dan kemanfaatan bagi umat manusia.

Jadi ketika saya melihat seorang praktisi hukum berbicara yang ngotot dengan “pasal-pasal” yang sebenernya di pasal itu juga tidak jelas atau tidak rinci, yang hanya dengan permainan kata-kata saja dia bisa memainkan, maka saya bisa menerka bahwa orang tersebut sudah menyimpang dari yang semestinya. Padahal dalam hukum buatan manusia itu jelas tidak akan sempurna karena hanya merupakan konvensi. Dalam hal ini, tentu pasal-pasal tersebut harus jelas  dan dilihat dari sisi manapun harus memberikan manfaat. Ketika pasal tersebut belum bisa mengakomodir secara aktual maka tentu saja pasal tersebut boleh direvisi atau dikembalikan lagi kepada esensi dari pasal tersebut.

                Maka tentu saja, jika cara suatu menyikapi perkara selalu harus dengan pendekatan legal formal yang terjadi adalah bisa menjadi suatu pagar merusak tanaman, atau pedang menusuk pemiliknya sendiri. Dimana tanaman itu adalah benaran, keadilan dan kemaslahatan, dan pagar adalah hukum yang merupakan bentukan. Bukankah secara logika yang sangat mudah bisa dilihat, bahwa hukum atau perundangan itu bisa diamandemen atau dirubah, karena dia adalah bentukan. Namun anda tidak bisa merubah suatu nilai perbuatan budi pekerti. Tidak akan ada mencuri itu menjadi baik, menyakiti orang lain itu menjadi terpuji, walau dikutub selatan maka nilai-nilai hati nurani manusia yang diberikan Tuhan YME itu akan selalu berlaku. Begitu pula dengan masyarakat yang berteriak dengan hati nuraninya, apakah akan dikesampingkan terus, ataukah dituruti. Maka dalam hal ini, kearifan dari pemerintah adalah wajib. Jika masalah tidak bisa terselesaikan dan dunia semakin rusak, maka tunggu saja keputusan dan penyelesaian dari Sang Pencipta, ALLAH Azza Wa Jalla.

Wallahu A’lam Bishowab

October 23, 2009

Menunggu 100 hari pak menteri

Btw….selamat bagi para menteri yang telah sah dilantik.
Beberapa kalangan masyarakat dan tokoh menilai bahwa kabinet yang dibentuk SBY kurang bagus. Seperti beberapa tulisan di surat kabar, forum, bahkan televisi ramai-ramai membicarakan kapasitas dan kelayakan para menteri yang sudah dilantik dalam kabinet Indonesia Bersatu II itu.

Saya se sebenernya juga agak kurang yakin juga dengan kinerja para menteri yang menempati pos-pos nya. Alasannya banyak, salah satunya adalah kualifikasi dan track record yang tidak cocok dengan jabatannya.  Salah satu soal  yang belum saya temukan jawabannya adalah mengapa para menteri yang terpilih kembali itu tidak menempati pos yang sama ketika menjabat sebelumnya. Hal ini menurut saya akan mengurangi efektifitas dimana seseorang harus beradaptasi menempati dan memegang sesuatu yang baru.

Disamping itu, apakah agenda-agenda yang baik pada sebelumnya juga akan terjaga kesinambungannya oleh menteri yang baru, itu juga menjadi persoalan. Masalahnya biasanya orang Indonesia itu suka menunjukkan eksistensi dalam jabatan, sehingga sedikit banyak perubahan yang tidak berguna seringkali terjadi. Misalkan dulu Sekolah Menengah Atas (SMA), tahun 2001 diganti Sekolah Menengah Umum (SMU), dan tahun 2006 dirubah lagi (SMA)….coba’. Ini apa esensinya?? {{ katanya se dulu karena menteri pendidikannya ganti))

ketidakyakinan pada Kabinet kali ini juga bertitik pada kualifikasi dan background pendidikan atau karir profesionalnya. Misalnya Hatta Rajasa, alumni ITB jurusan perminyakan ini ditunjuk sebagai menko perekonomian. Lalu Tifatul sembiring, yang hanya ber-Background sarjana TI yang , menempati pos menkominfo. Ada juga Menristek, bahkan Menteri Agama yang pengamat politik Permadi mengatakan bahwa bener-bener tidak layak.
Lantas , muncul berbagai opini bahwa pembentukan kabinet itu hanya bagi-bagi kursi, dan demi menjaga koalisi dan kesetabilan. Apakah betul seperti itu tentu saja hanya bapak presiden yang tau….
Dan saya lebih senang menunggu dan melihat saja, bagaimana nanti progress yang terjadi selama 100 hari yang akan dievaluasi itu.
silahkan menanti…..:D
May 13, 2009

Antara demokrasi dan Kebenaran

Pas ngedengerin radio di hp sambil makan di warung, rasanya ada yang bikin tertarik juga. Intinya adalah topik tentang demokrasi di mata Islam. Sebenernya demokrasi itu sendiri adalah tidak pernah ada dalam kamus Islam, sehingga orang arab pun menyebut demokrasi dengan “dzamukrotain”(kalau tidak salah tulis) sesuai dengan adopsi dari bahasa aslinya. Demokrasi merupakan paham yang berkembang di negara yang menganut kebebasan.

Sebenarnya paham demokrasi merupakan paham yang “netral” yang mengakomodasi sisi sisi obyektif dari suatu permasalahan atau suatu otoritas. Namun apakah demokrasi itu selalu “baik dan benar” itulah permasalahannya. Its ok dan tidak masalah apabila demokrasi tersebut memberikan suatu objektivitas kolektif yang mengarah pada baik dan benar yang menuju pada kemaslahatan umat manusia. Namun jika demokrasi tidak mengarah kepada kemaslahatan manusia, apakah bisa tetap harus dipakai sebagai panduan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara??, kita tahu bahwa sesuatu yang baik, belum tentu benar. Misalnya berdamai itu baik, namun jika kita berdamai dengan suatu kelompok yang jelas-jelas punya akhlak buruk misalkan damainya polisi dengan bandar judi atau penjual miras apakah itu benar?? Jadi inget kemaren ada temen yang berpandangan “lebih baik jadi pengecut daripada banyak musuh”…saya langsung saja berkomentar bahwa “kita tidak akan selamat jika berpandangan seperti itu”. Jika kita berusaha menjadi netralis memang seolah-olah kita berada pada daerah abu-abu yang berdamai dan membenarkan semua pihak. Lalu apakah ada kebenaran itu bisa disatukan dengan kejahatan?? (wahh jadi kaya satria baja hitam ini :D). Apakah kita menjual suatu kebenaran dan ideologi atau prinsip ketuhanan dengan suatu kedamaian??

Jadi kita mau cari musuh donk??

Kita ingin menghancurkan kelompok yang berbeda dengan kita?? . Tidak .

Memperjuangkan kebenaran tidak berarti mencari musuh atau ingin menghancurkan sesuatu yang berbeda prinsip dengan kita. Kalau kita menengok pada politik Islam maka kita akan mengetahui bagaimana Islam hidup berdampingan dengan orang kafir dan agama lain. Kelompok kafir zimmi yaitu kafir yang tidak menyerang Islam dan tidak merusak ideologi agama bisa hidup damai, namun jika kafir itu aktif memerangi dan merusak ideologi Islam dan memberikan mudharat bagi Islam itulah yang akan dicegah.

Lalu apa hubungannya dengan demokrasi?? torehlah jika suatu komunitas akan mengambil keputusan terbaik dengan jalan demokrasi, anda melakukan jajak pendapat , voting atau apalah namanya dan akan diambil keputusan dengan suara terbanyak. Praktisnya memang seperti itu, namun siapa yang akan disalahkan apabila ternyata yang dipilih terbanyak adalah suatu yang tidak benar. Misalkan anda melakukan voting apakah judi diberangus atau tidak dilingkungan orang yang suka judi ,maka anda akan mendapatkan jawaban tidak.

Jadi demokrasi yang dibenarkan menurut Islam tidaklah mengakomodasi semua aspirasi objektif. Demokrasi harus bertolok ukur pada Ideologi Islam dan berdasarkan syariah. Lalu sesuatu yang diperbolehkan untuk “berdemokrasi” pun haruslah sesuatu yang mubah atau belum ditentukan secara jelas dalam hukum Islam atau merupakan turunan beberapa tingkat dari hukum Islam sehingga memerlukan hukum turunan. Lebih jauh lagi, ketika masalah tersebut masih bisa ditelaah oleh para Ulama yang “terpercaya” dan amanah, maka musyawarah merupakan pintu pertama terlebih dahulu yang dibuka untuk menyelesaikan suatu masalah tersebut, baru setelah masalah tersebut merupakan masalah yang “sangat mubah dan merupakan turunan berkali-kali …” (apa maksudnya ya??) maksudnya tidak ada jalan lain lagi, maka proses dengan demokrasi dibuka(Ijtihaad ).

Jadi dalam hal ini suatu kebenaran tidak akan bisa diubah dengan demokrasi. Suatu yang haram tidak bisa tercampur dengan yang halal, atau tidak ada zona abu-abu dimana seluruh aspek dan ideologi dicampur menjadi ideologi yang baru dengan dalih demokrasi.

Trus kalo ada yang berkata “terserahlah kamu mo ngelakuin apa, kita kan berdemokrasi”…pada temennya yang “SETEP(1/2 gila), goblok , atau naudzubillah Akhlaqnya”…tentulah orang itu tidak tau artinya demokrasi.

Jadi inget Adegan ludruk ITB yang diperankan oleh Sujiwo Tejo dengan monolognya“Manusia Itu Goblok, Mana ada kebenaran itu kolektif?? Kebenaran itu adalah Satu (dari Tuhan.Red)”.

Jadi intinya bahwa demokrasi itu haruslah demokrasi yang dilandasi dengan pemahaman dan Akhlaq yang baik. ( Akhlaq duluan). Demokrasi haruslah dalam kedewasaan tidak berdasarkan egoisme dan kepentingan pribadi, dan bukan demokrasi untuk memperdebatkan suatu yang sudah jelas baik dan buruknya.

Lantas sudah sedewasa dan semengerti apakah Indonesia dalam kehidupan berdemokrasi?? (tentu anda bisa menilainya sendiri) dan penailaian anda akan menujukkan juga pemahaman dan pendangan anda.

Tags: ,