Melihat kasus yang populer disebut kasus“cicak dan buaya” itu kemaren membuat saya sedikit mengernyitkan dahi. Masalah tersebut beberapa hari ini terus menghiasi media baik cetak dan elektronik yang terus berlomba-lomba menyajikan info teraktual mengenai masalah tersebut.
Rekaman yang merupakan kunci kasus telah dibeberkan, dan sebagian masyarakat dari kalangan intelektual maupun buta hukum mengikuti . Mungkin diantaranya bahkan bisa memahami secara jelas.
Nah, disini saya hanya memberikan pandangan saya untuk para advokat dan pengacara. Seperti yang diketahui bersama bahwa profesi pengacara adalah profesi yang menjadi pembela seseorang yang terkena perkara hukum. Tentu pembela merupakan pihak yang membela dan memberikan bantuan hukum kepada kliennya. Namun, terkadang seseorang pengacara dengan gayanya tidak menyadari bahwa “profesi-nya” itu yang pertama haruslah berlandaskan kebenaran dan keadilan. Sekarang, tampak sangat jelas bahwa banyak para pengacara atau advokat sebegitu mudahnya “menjual” kebenaran dan keadilan itu dengan “profesi”. Bahkan, yang sangat keterlaluan adalah seorang pengacara atau advokat senior yang memainkan pasal-pasal untuk memutar balikkan konsekuensi dan berupaya untuk melindungi seorang kliennya yang jelas-jelas bersalah.
Ketika dua orang advokat senior sedang berdebat misalnya, tentu saja saya tidak akan bisa menyaingi mereka tentang pengetahuan pasal-pasal hukum atau sejenisnya. Namun yang saya tangkap, beberapa advokat senior itu terkadang ngotot dan bersikeras dengan pasal-pasal dan logika hukumnya walaupun secara sepintas mereka itu kadang “hanya mendasarkan pada ke’pakar’an-nya atau sombong”. Jika begitu, kebenaran mungkin akan menjadi suatu komoditas yang merupakan “lahan” bagi para advokat yang bekerja untuk uang dan bukan berkerja untuk suatu kebenaran dan keadilan. Pastinya, hukum pun akan selalu bisa dipermainkan dan “rapuh” sehingga seperti saat ini, masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada perangkat dan lembaga hukum yang terlalu banyak torehan nilai merahnya.
Mungkin ketika mereka dulu, para advokat itu belajar hukum mereka kurang dididik dengan budi perkerti dan ahlaq yang benar. Bahkan, terkadang mereka itu lupa ataukah melupakan ataukah mereka itu memang bodoh bahwa hukum itu ada karena “substansi” nya. Tentu saja substansinya secara global merupakan penegakan kebenaran, keadilan dan kemanfaatan bagi umat manusia.
Jadi ketika saya melihat seorang praktisi hukum berbicara yang ngotot dengan “pasal-pasal” yang sebenernya di pasal itu juga tidak jelas atau tidak rinci, yang hanya dengan permainan kata-kata saja dia bisa memainkan, maka saya bisa menerka bahwa orang tersebut sudah menyimpang dari yang semestinya. Padahal dalam hukum buatan manusia itu jelas tidak akan sempurna karena hanya merupakan konvensi. Dalam hal ini, tentu pasal-pasal tersebut harus jelas dan dilihat dari sisi manapun harus memberikan manfaat. Ketika pasal tersebut belum bisa mengakomodir secara aktual maka tentu saja pasal tersebut boleh direvisi atau dikembalikan lagi kepada esensi dari pasal tersebut.
Maka tentu saja, jika cara suatu menyikapi perkara selalu harus dengan pendekatan legal formal yang terjadi adalah bisa menjadi suatu pagar merusak tanaman, atau pedang menusuk pemiliknya sendiri. Dimana tanaman itu adalah benaran, keadilan dan kemaslahatan, dan pagar adalah hukum yang merupakan bentukan. Bukankah secara logika yang sangat mudah bisa dilihat, bahwa hukum atau perundangan itu bisa diamandemen atau dirubah, karena dia adalah bentukan. Namun anda tidak bisa merubah suatu nilai perbuatan budi pekerti. Tidak akan ada mencuri itu menjadi baik, menyakiti orang lain itu menjadi terpuji, walau dikutub selatan maka nilai-nilai hati nurani manusia yang diberikan Tuhan YME itu akan selalu berlaku. Begitu pula dengan masyarakat yang berteriak dengan hati nuraninya, apakah akan dikesampingkan terus, ataukah dituruti. Maka dalam hal ini, kearifan dari pemerintah adalah wajib. Jika masalah tidak bisa terselesaikan dan dunia semakin rusak, maka tunggu saja keputusan dan penyelesaian dari Sang Pencipta, ALLAH Azza Wa Jalla.
Wallahu A’lam Bishowab
Menunggu 100 hari pak menteri
Saya se sebenernya juga agak kurang yakin juga dengan kinerja para menteri yang menempati pos-pos nya. Alasannya banyak, salah satunya adalah kualifikasi dan track record yang tidak cocok dengan jabatannya. Salah satu soal yang belum saya temukan jawabannya adalah mengapa para menteri yang terpilih kembali itu tidak menempati pos yang sama ketika menjabat sebelumnya. Hal ini menurut saya akan mengurangi efektifitas dimana seseorang harus beradaptasi menempati dan memegang sesuatu yang baru.
Disamping itu, apakah agenda-agenda yang baik pada sebelumnya juga akan terjaga kesinambungannya oleh menteri yang baru, itu juga menjadi persoalan. Masalahnya biasanya orang Indonesia itu suka menunjukkan eksistensi dalam jabatan, sehingga sedikit banyak perubahan yang tidak berguna seringkali terjadi. Misalkan dulu Sekolah Menengah Atas (SMA), tahun 2001 diganti Sekolah Menengah Umum (SMU), dan tahun 2006 dirubah lagi (SMA)….coba’. Ini apa esensinya?? {{ katanya se dulu karena menteri pendidikannya ganti))
ketidakyakinan pada Kabinet kali ini juga bertitik pada kualifikasi dan background pendidikan atau karir profesionalnya. Misalnya Hatta Rajasa, alumni ITB jurusan perminyakan ini ditunjuk sebagai menko perekonomian. Lalu Tifatul sembiring, yang hanya ber-Background sarjana TI yang , menempati pos menkominfo. Ada juga Menristek, bahkan Menteri Agama yang pengamat politik Permadi mengatakan bahwa bener-bener tidak layak. Lantas , muncul berbagai opini bahwa pembentukan kabinet itu hanya bagi-bagi kursi, dan demi menjaga koalisi dan kesetabilan. Apakah betul seperti itu tentu saja hanya bapak presiden yang tau…. Dan saya lebih senang menunggu dan melihat saja, bagaimana nanti progress yang terjadi selama 100 hari yang akan dievaluasi itu. silahkan menanti…..:D
Posted in buku harianku | 2 Comments »