Setelah beberapa kali rencana buat nonton film ini tertunda, akhirnya hari ini saya dapat nonton. Apalagi nontonnya ditraktir , sama “mbak” saya yang lama gak ketemu. Dari percakapan iseng di YM, saya ajak nonton ternyata dia malah mau bayarin. Hehe..makasih Mbak’…
habis nonton di Ciwalk kita makan bakso Karapitan. Wuihh jadi hari yang bener-bener berkesan
Btw, tentang Film Laskar Pelangi saya berpendapat bahwa Film tersebut memang layak untuk disebut Film yang bermutu. Ditengah Film Genre Komedi Nakal atau Pergaulan bebas yang menggemborkan kehidupan hedonis, Film ini mampu tampil sebagai “Oase” atau penyegar kembali perfilman Indonesia untuk mengarah pada Film yang bermutu. Petuah dan pesan yang terkandung dalam Film ini sangat mendidik dan patut untuk dijadikan pemacu idealisme pendidikan yang zaman sekarang mungkin sudah agak memudar.
Namun jika dibandingkan dengan novelnya, maka akan saya katakan bahwa film tersebut hanya memuat 50% dari isi novel. Jika dalam novelnya yang sudah saya baca saya bisa membayangkan suatu keadaan tertentu maka dalam film ini saya merasa banyak bagian” penting” yang diubah. Misalnya ketika pertama kali Lintang ke sekolah, dalam novel diceritakan bahwa Lintang diantar oleh bapaknya. Begitu juga dalam sesi kematian pak Harfan, yang dalam novel diceritakan pada waktu cerdas cermat beliau masih mendampingi, dan di film beliau meninggal sebelum cerdas cermat. Saya tidak tau mengapa hal- hal seperti ini diubah oleh Riri. Ada juga suatu intrik yang ditambahkan misalkan tokoh Tora Sudiro yang menjadi pengagum Bu Mus, hal itu terasa mengotori cerita asli novel.
Yang saya merasa paling kurang adalah tentang kecerdasan Lintang. Dalam narasinya jelas bahwa akan diceritakan kepintaran Lintang secara fantastis, dan itu tidak saya dapatkan seperti yang saya harapkan. Debat Lintang dengan guru di sekolah PN Timah pada waktu cerdas cermat merupakan titik tolak utama jika mengatakan “Lintang adalah orang paling cerdas yang pernah kutemui dalam hidupku”, dan dalam film itu tidak ada. Dalam film tersebut juga terlalu mengedepankan tokoh Ikal, yang seolah-olah menjadi tokoh yang paling penting yang jika dalam novel tidak begitu.
Walaupun begitu saya bisa mengatakan Riri benar-benar harus diacungi jempol dengan segala kerja kerasnya menyelesaikan film ini. Tentu saja jika pengen dibuat pohon filicium betulan untuk syuting, atau parade rebut barang warga tionghoa yang menjadi pertemuan Ikal dan A ling, akan sangat sulit dilakukan. Maka saya tetep mengacungkan jempol untuk Riri dengan kerja kerasnya dalam Film ini’
Moga film ini bener-bener menjadi titik tolak kesadaran pendidikan, dan menjadi teladan para produser untuk berlomba membuat film yang berkualitas