Di sana sini peringatan sumpah pemuda diwarnai dengan demo, orasi dan lain-lain. Sumpah pemuda mungkin dulunya merupakan cerminan dari bentuk komitmen kaum pemuda saat itu (tahun 1928) untuk mempersatukan dan memerdekakan bangsa dibawah satu bendera yaitu Indonesia.
sekarang…..
Ada juga yang memperingati dengan komitmen, semangat, dan orasi yang menggebu-gebu, ada juga yang lempeng aja tanpa ada pengaruh apa-apa(seperti saya), ada juga mungkin yang bahkan tidak tau dan tidak mau tahu….
Eniwei , ketika saya melihat dan mendengar para mahasiswa meneriakkan orasi atau tuntutan tersebut saya ikut senang. Dalam arti ya memang hal tersebut harus ada yang melakukan walau tujuannya kadang tidak jelas atau tujuan jelas tapi tidak bersolusi. Yang saya maksud solusi disini adalah solusi riil yang memang bisa diterapkan dalam jangka waktu dekat atau solusi yang terukur. Nahh, kalo sudah begitu bukankah ribuan kali kita berdemo jika dihitung mulai adanya reformasi tahun 1998, menyuarakan aspirasi rakyat, atau menyuarakan apa saja yang dianggap benar. Tapi sekarang nyatanya bangsa kita tidak pernah merasa lebih baik, semakin terpojok dalam hubungan internasional, dan tidak dihargai oleh negara tetangga. Apa yang salah?? yang demo salah?? pemerintah selalu salah?? atau memang semua salah??
Tentu tidak akan ada habisnya jika kita terus bertanya siapa yang salah, Namun sebagai renungan, harusnya sekarang kita sadar bahwa sekarang sudah lebih dari 10 tahun kita meninggalkan titik nol reformasi. Dan jika kita terus mencari cari maka kita terus saja akan berkutat dalam lingkaran angan semu reformasi itu sendiri. Jika Soekarno berkata “berilah aku 10 PEMUDA, maka aku akan mengguncang dunia” hanya sampah dan bualan, mungkin ya tidak usah diperingati saja sumpah pemuda. Namun jika kalimat itu dipandang benar, maka harusnya para pemuda lebih menyadari perannya dan arti penting dirinya. Dan cara mewujudkan hal itu tentu saja dengan terlebih dahulu “Bangunlah jiwanya…..untuk Indonesia raya” yang berarti pembangunan moral dan ahlaq pemuda yang bertujuan untuk kebaikan bangsa Indonesia.
Refleksi yang dapat dilihat langsung apakah pemuda Indonesia sudah berkriteria untuk mengguncang dunia itu tentu sangat terlihat. Kita lihat saja mahzab dan gaya hidup para pemuda sekarang, pergaulan mereka, dan tingkat pemahaman terhadap agama mereka. Lebih jauh lagi kita juga bisa melihat berapa persen para pemuda kita yang menganggur pada usia 22-30 tahun. Polemik yang terjadi sekarang tentu kita bisa melihat bahwa unsur-unsur diatas mayoritas kita berada dalam tanda negatif (-) yang artinya sangat riskan dan berbahaya untuk keberlangsungan pembangunan.
Bukankah seharusnya pembenahan itu harusnya dimulai dari diri sendiri dulu?? Maka dalam hal ini seharusnya para pemuda lebih “aware” terhadap masalah-masalah remaja dan pemuda itu sendiri. Bagaimana dia membuat 10 pemuda lain terinspirasi untuk memperbaiki diri, bagaimana dia menjadi pemuda yang “produktif” dan bisa memberdayakan orang-orang disekitarnya. Tentu saja tidak mudah untuk menjadi pemuda sekaliber “bill gates” atau ” Mark Zukenberg” yang bisa mengguncang dunia. Namun tentu saja hal itu dapat terwujud jika potensi yang ada pada para pemuda Indonesia yang bodoh-bodoh ini (bodoh, karena terlalu banyak yang berbakat seperti Profesor termuda di Amerika itu orang Indonesia(Nelson Tansu), Di Nanyang, bahkan mungkin di Univ2 lain itu orang Indonesia) disertai dengan kesadaran dan integritas. Kesadaran untuk berjuang dan mengabdi pada Tuhan dan Negaranya.
Seandainya perbaikan untuk pemuda ini berhasil, maka tidaklah perlu demonstrasi atau tuntutan yang dialamatkan kepada pemerintah itu dilebih-lebihkan, karena nanti pada waktunya mereka juga akan mati dan pemuda itu sendiri yang akan mengganti.
Terlepas dari itu semua, ternyata kita belum bisa bergerak dengan leluasa dari jeratan nafsu dan keinginan kita sendiri. Keinginan yang lebih mengarah pada kenyamanan pribadi dan jeratan “perut yang lapar”.
jika saya menjajak pendapat semua mahasiswa yang berorasi dan menerikkan yel-yel sumpah pemuda itu dengan pertanyaan” Apa yang akan anda pilih jika terdapat dua pilihan, bekerja untuk negara dengan gaji UMR , atau kerja di perusahaan asing dengan gaji 50 kali lipat??” saya akan berani memastikan akan lebih banyak pemilih opsi kedua. Tentu saja mereka tidak salah karena mereka juga butuh “kenyang” dan kehidupan yang baik. Lalu jika mereka sebenernya tidak mau, maka orang tua yang akan menyalahkan mereka. Jadi, nasionalisme itu sebatas kata-kata?? bukan begitu. Yang lebih tepat mungkin adalah jangan berkata tentang nasionalisme ketika kamu “lapar”, karena kebutuhan utama manusia adalah makan untuk hidup.
Maka, jika dirunut polemik ini tidak selesai kecuali pembenahan moral mental dan integritas itu menjadi tujuan utama dan HARUS BERHASIL. Moral berarti dia mau menjadi baik, mental berarti dia tidak takut akan ketidaknyamanan, dan integritas yang berarti komitmen yang tidak luntur.
Menunggu 100 hari pak menteri
Saya se sebenernya juga agak kurang yakin juga dengan kinerja para menteri yang menempati pos-pos nya. Alasannya banyak, salah satunya adalah kualifikasi dan track record yang tidak cocok dengan jabatannya. Salah satu soal yang belum saya temukan jawabannya adalah mengapa para menteri yang terpilih kembali itu tidak menempati pos yang sama ketika menjabat sebelumnya. Hal ini menurut saya akan mengurangi efektifitas dimana seseorang harus beradaptasi menempati dan memegang sesuatu yang baru.
Disamping itu, apakah agenda-agenda yang baik pada sebelumnya juga akan terjaga kesinambungannya oleh menteri yang baru, itu juga menjadi persoalan. Masalahnya biasanya orang Indonesia itu suka menunjukkan eksistensi dalam jabatan, sehingga sedikit banyak perubahan yang tidak berguna seringkali terjadi. Misalkan dulu Sekolah Menengah Atas (SMA), tahun 2001 diganti Sekolah Menengah Umum (SMU), dan tahun 2006 dirubah lagi (SMA)….coba’. Ini apa esensinya?? {{ katanya se dulu karena menteri pendidikannya ganti))
ketidakyakinan pada Kabinet kali ini juga bertitik pada kualifikasi dan background pendidikan atau karir profesionalnya. Misalnya Hatta Rajasa, alumni ITB jurusan perminyakan ini ditunjuk sebagai menko perekonomian. Lalu Tifatul sembiring, yang hanya ber-Background sarjana TI yang , menempati pos menkominfo. Ada juga Menristek, bahkan Menteri Agama yang pengamat politik Permadi mengatakan bahwa bener-bener tidak layak. Lantas , muncul berbagai opini bahwa pembentukan kabinet itu hanya bagi-bagi kursi, dan demi menjaga koalisi dan kesetabilan. Apakah betul seperti itu tentu saja hanya bapak presiden yang tau…. Dan saya lebih senang menunggu dan melihat saja, bagaimana nanti progress yang terjadi selama 100 hari yang akan dievaluasi itu. silahkan menanti…..:D
Posted in buku harianku | 2 Comments »