Salah satu pertunjukan yang paling saya sukai adalah wayang kulit. Dari kecil saya sudah diperkenalkan dengan kebudayaan jawa yang mengadopsi cerita Mahabarata dan Ramayana dari hindustan ini. Memang saya tidak pernah secara langsung atau terliteratur belajar tentang wayang, namun hanya sepenggal-sepenggal yang terkumpul menjadi satu pengetahuan.
Sewaktu kecil, saya sering diajak ayah saya untuk menonton pertunjukan itu di balai desa, atau tempat mana yang “nanggap” (istilah untuk menggelar konser wayang) yang memang pada waktu saya kecil pertunjukan itu masih sering diadakan. Biasanya kalau di desa, ada acara “bersih deso” atau syukuran desa yang mengikutkan pagelaran wayang. Pada waktu kecil sih, simpel saja kenapa saya suka wayang yaitu karena ada “perang” nya. Anak laki-laki pasti akan tertarik disuguhi pertunjukan yang memperlihatkan seorang jagoan yang membabat habis musuh-musuhnya yang jahat, seperti juga ketika nonton “Satria Baja Hitam” waktu itu. Hehe. Dan pada waktu itu tokoh wayang favorit saya adalah “Bima” atau “Werkudara” yang bertubuh gagah perkasa dan sakti mandraguna.
Namun seiring waktu pengetahuan saya tentang wayang tentu saja bertambah. Dari pelajaran sekolah Bahasa Jawa misalkan. Di pelajaran itu tidak sedikit yang menyinggung Wayang dan Segala ceritanya. Bahkan kalau boleh saya katakan 80% dari pelajaran Bahasa Jawa selalu ada unsur Wayang, atau bisa dikatakan juga dalam Wayang itu berisi hampir semua kesusastraan Jawa. Pengetahuan tentang wayang juga saya dapatkan pada artikel-artikel “Lakon” surat kabar lokal, yang isinya sebenarnya menceritakan kehidupan masa kini, isu aktual tentang politik dan ekonomi, yang semuanya tertransfer kedalam penokohan dan cerita wayang.

Dari itu semua, ternyata wayang (terutama wayang kulit) adalah suatu karya gubahan yang sangat dahsyat. Betapa tidak, karena dalam setiap lakon wayang itu selalu ada konsep ketuhanan (Tauhid) dan Kehidupan (Muamalah). Tentu saja hal itu terasa tidak salah kalau tahu bahwa yang menggubah cerita Wayang Kulit dari cerita mahabarata di hindustan adalah Sunan Kalijogo. Salah seorang wali penyebar Agama Islam di Jawa. Kultur politheisme Hindu yang menyembah banyak dewa, dikonsep ulang menjadi kultur Islam yang menganut satu Tuhan dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada kultur sebelumnya. Paham akan Islam disisipkan dengan cantik namun membutuhkan interpretasi yang benar dan dalam.
Seperti pada “Jimat Kalimasada” yang merupakan penentu keselamatan dunia-akherat. Tentu saja dalam Islam percaya pada jimatpun merupakan suatu hal yang Haram, namun dibalik itu nama “ Kalimasada” merupakan berarti “ Kalimat Syahadat” yang merupakan ikrar seorang kepada Allah SWT untuk memeluk dan menjalankan Islam.
Selain itu petuah-petuah dari cerita wayang adalah buah dari penggambaran kehidupan itu sendiri. Dalam wayang digambarkan perwatakan yang lengkap, mulai dari watak paling baik sampai tokoh yang memiliki watak angkara murka. Dan watak tokoh-tokoh itu konon tergambar melalui bentuk dan gubahan wajah, serta warnanya. Benar-benar sesuatu rumusan bijak yang terukir. Dalam cerita wayang selalu menyampaikan petuah tersirat yang bertujuan untuk meningkatkan budi perkerti yang baik dan luhur, dan etika yang mengadopsi Islam dan etika Jawa. Jadi kalau seorang berkelakuan buruk atau menyimpang dari budi pekerti dan etika jawa maka orang tua akan menyebutnya “ora jowo” (tidak jawa.red).
Nahh, kemaren pas saya lagi “malem mingguan” di Lab, saya diberitahu tmen lewat chatting bahwa di salah satu stasiun TV ada wayang kulit. Ternyata pageleran kali ini diadakan di Istana Negara dan dihadiri bapak Presiden dan Para Mentri. Mungkin dalam menyambut HUT kemerdekaan, gumam saya. Jadilah saya tidak mengerjakan apa-apa di Lab dan ngendon di depan TV Lab sampe pagi. Dosen saya sampe geleng-geleng kepala’. hahaha’(ini khan malem minggu bapak’ J)
Dalam pagelaran itu juga terdapat “Sinden” yaitu penyanyi pengiring tembang-tembang jawa yang berasal dari Jepang dan US. Nahh, ternyata mereka tidak hanya bisa “nyanyi “ saja namun bahasa jawa nya juga lancar. Terlihat bahwa mereka sangat antusias untuk belajar kebudayaan dari kita. Lalu??? Apakah kita sendiri sudah melestarikan budaya nenek moyang kita sendiri?? Apakah kita lebih tertarik kepada budaya Hedonisme Barat dan lain-lain padahal hal tersebut sama sekali tidak bermanfaat dan tidak pantas kita tiru. Jadi apa kebanggan kita sebagai bangsa yang merdeka?? Apakah kita benar-benar sudah bangga dengan kebudayaan kita sendiri, dengan adat istiadat nenek moyang kita?? Jika kita tidak bisa menjaga itu saja, lantas mengapa kita mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka?
Merdeka itu adalah simbol dari “eksistensi” , simbol dari “diakui”. Dan diakui itu akan tercapai apabila kita memegang teguh prinsip hidup kita.
Sedangkan kultur, adat-istiadat ,adalah “prinsip” yang berdasar pada nilai-nilai Agama.
Merdeka itu adalah tidak terbelenggu. Tidak terbelenggu dari rasa ketakutan akan hidup susah dan melarat, sehingga segala cara, korupsi, dilakukan untuk menjamin dari rasa takut itu.
Merdeka itu memberi, bukan menuntut. Karena hanya seorang yang kekurangan akan mau menjadi budak untuk diberi upah, dan orang yang menuntut adalah seorang yang tidak bisa mandiri’.
Merdeka itu tidak diam dan terbatas. Karena orang yang diam tanpa bisa berkarya adalah orang yang terbatas.
Juga bukan tujuan akhir, karena merdeka adalah suatu “gerbang” untuk berusaha beribadah secara mutlak
Merdeka itu adalah Soekarno, Hatta, Soedirman, Aku dan Anda semua yang masih punya HARAPAN untuk lebih baik. Harapan untuk Indonesia tercinta’
Dirgahayu INDONESIA ku’
— aws —