[Prolog- Hari Wisuda]
10 April 2010 adalah hari dimana saya terdaftar sebagai wisudawan ITB yang kedua pada tahun ajaran 2009/2010. Beberapa hari sebelumnya saya sudah disibukkan dengan macam-macam persiapan seperti melaundry, mencari penginapan untuk orang tua dll.
Pada hari itu saya pertama kali memakai pakaian resmi lengkap (Kemeja, Jas, Pantofel) dan ditambah pula dengan “toga” yang kebesaran. Sehari sebelumnya orang tua dan adik saya datang dan dijemput di stasiun oleh Mbak Ita saudara kami. Lalu pada pagi hari , hari H, saya menjeput di penginapan, dan kami berangkat bareng dengan diantar mobil oleh Mbak Ita dan Suaminya ke Sabuga.
Setelah berfoto-foto di kampus yang diadakan oleh himpunan, kemudian Ibu/Bapak bergegas ke sabuga dan saya menyusul kemudian. Setelah adik saya titipkan ke adik tingkat di himpunan karena undangan hanya untuk dua orang, saya menunggu pintu dibuka dengan teman selulusan sambil berfoto-foto sebentar di luar gedung. Sekitar jam 8 kami masuk ke dalam dan acara wisuda tersebut dimulai.
Bagi saya ini adalah wisuda pertama. begitu pula rektor, Bapak Ahmaloka, karena beliau baru dilantik. Pidato pembukaan oleh Bapak Rektor sangat berkesan karena dengan gayanya yang sedikit lucu suasana sidang terbuka tersebut tidak menjadi tegang. Di sela-sela acara diperdengarkan pertunjukkan angklung dan gamelan yang disempurnakan oleh paduan suara.
Setelah mengucap janji sarjana (kalau gak salah) 😀 sambil berdiri, maka prosesi terakhir yaitu salaman dengan rektor, dekan dan ketua jurusan dimulai. Hal ini adalah prosesi yang paling lama dan melelahkan bagi Bapak Rektor, karenanya setelah wisudawan s2 dan s3 selesai beliau dipersilahkan rehat oleh protokol. Dengan gesture yang “sangat lega” sambil tetap tersenyum lucu beliau meninggalkan tempat salaman sejenak yang diiringi oleh riuh para wisudawan sambil bertepuk tangan untuk menyemangati. Hehe
[– Selamat Hari Pendidikan ]
Sejenak ketika jeda, sambil mendengarkan persembahan musik dalam gedung tersebut saya menyempatkan diri untuk membuka-buka buku wisudaan yang berisi daftar wisudawan dan judul tugas akhir atau tesis mereka. Saya jadi bergumam, ketika setiap 4 bulan sekali satu perguruan tinggi meluluskan ribuan mahasiswa dengan ribuan judul penelitian, lalu berapa persen dari beribu-ribu karya ilmiah tersebut dapat diaplikasikan??. Berapa persen penelitian-penelitian tersebut yang diteruskan dan disempurnakan menjadi hasil nyata??
Tarohlah jika penelitian di tingkat s1 belum layak untuk diaplikasikan atau masih sangat “cupu”, maka masih ada sekitar 500 an penelitian dari jenjang s2 dan s3. Apakah memang hasil penelitian mereka itu tidak ada yang bisa digunakan? ataukah hal yang lain?? Padahal, biasanya para mahasiswa memilih suatu topik tugas akhir tentu saja karena ketertarikan untuk mengembangkan ilmu dalam bidang tersebut. Lantas kemana larinya hasil idealisme dan harapan mereka yang pada saat mengerjakan tugas akhir seperti orang stress atau sampai jadi jarang mandi itu. Apakah mereka memang hanya menginginkan itu terhenti pada gerbang kelulusan saja?? saya rasa tidak demikian.
Menurut saya, terhentinya hasil penelitian mereka adalah karena keterbatasan ekonomi dan tidak adanya kepedulian dari lembaga-lembaga yang terkait. Namun, kita juga tidak bisa menyalahkan lembaga-lembaga terkait tersebut karena pada hakikatnya mereka juga sedang”kekurangan” karena anggaran mereka tidak memungkinkan untuk dialokasikan dalam hal-hal tersebut. Lain dari itu, budaya bangsa kita dalam inovasi dan pengembangan teknologi sangat kurang. Istilahnya kurang greget, atau setengah-setengah. Harusnya ketika kita melihat para pelajar Indonesia bisa menjuarai beberapa Olimpiade sains mengalahkan negara-negara maju, kita harus tertampar. Kita harusnya sudah bisa mengindikasikan bahwa sebenarnya sumber daya manusia bangsa kita adalah salah satu yang terbaik. Jika itu sudah dapat menjadi indikasi, maka mengapa seolah pemerintah memutus kuncup-kuncup yang sangat berharga yang sedang berproses untuk mekar sempurna tersebut?? kenapa hal tersebut terjadi??. Sudah jelas karena pada seluruh lembaga-lembaga yang terkait terdapat oknum yang mempunyai “kepentingan-kepentingan” pribadi yang sangat tidak terkontrol.
Dalam kehidupan manusia, tentu kepentingan pribadi “nafsh” merupakan hal yang fitrah dan harus ada untuk mempertahankan hidup. Hal tersebut tidak dapat dihilangkan. Namun jika tidak terkontrol, nafsh atau nafsu tersebut akan menjadi berbalik mengontrol tiap perbuatan manusia dan menjadikan manusia lebih seperti hewan yang setiap tingkah lakunya hanya didasari nafsu dan naluri. Untuk itu, dalam membentuk karakter manusia seutuhnya maka manusia harus menggunakan akal-pikiran-budi yang dianugerahkan Tuhan. Kemampuan manusia untuk secara kontinu mengontrol nafsu, emosi dan naluri dengan berpedoman pada akal budi bisa didefinisikan sebagai mentalitas. Mentalitas merupakan sesuatu yang berhubungan dengan keadaan jiwa(ruhiyah) manusia dan hati (qolbu). Sedangkan aspek ruhiyah dan qolbu tersandar pada alam bawah sadar manusia yang menuntun kepada keagungan Sang Pencipta (Rabb). Maka tentu dalam pembentukan mental, tidak bisa dilepaskan dari aspek “Keimanan” yang ada pada diri seseorang.
Kurangnya MENTAL POSITIF, di dalam sistem kebangsaan kita merupakan hal yang menghentikan ilmu tersebut menjadi hal yang bermanfaat (barokah). Kata pendidikan seharusnya tidak hanya menjadi nama sebuah instansi, namun benar-benar dimaknai secara mendalam dan difahami sebagai landasan hidup dalam konteks pembelajaran dan pembangunan. Pendidikan menurut definisi pribadi saya yaitu Usaha untuk membangun mental, integrasi dari karakter dan kesadaran untuk mewujudkan budi pekerti dan jalan berfikir yang benar. Dalam hal ini, pendidikan merupakan sistem yang disusun sedemikian rupa untuk membuat manusia mencapai kedewasaan dalam berfikir. Berfikir, dalam Islam tidak hanya mempunyai arti sebagai kata kerja untuk menyelesaikan masalah (problem solving), namun juga berarti sebuah perenungan (contemplation). Jika problem solving lebih mengedepankan ke arah kemampuan kognitif yang berdasarkan logika dan pengetahuan, maka contemplation lebih mengedepankan kepada penggunaan emosi dan spiritual. Dalam problem solving kita dituntut untuk dapat menggunakan logika untuk menganalisa kenampakan fisik(lahiriyah) dan segala sesuatu yang terukur. Contemplation merupakan sisi penyeimbang, dimana dalam proses berfikir pada aspek ini mengedepankan kedewasaan (maturity) dan kebijaksanaan (wise) dalam penilaian akal-budi dan hati nurani. Jika dalam logika kita hanya melihat aspek lahiriyah sebagai ukuran, maka dalam perenungan kita menggunakan “bathin” sebagai sesuatu yang tidak bisa kita ukur secara lahiriyah. Bathin merupakan sifat Sang Pencipta Alam Semesta(Rabb Al Alamiin) yang menunjukkan kebesaran dan pengetahuannya yang tidak terbatas sehingga akal manusia harus berserah diri tentang apa-apa yang tidak/belum diketahuinya yang tidak bisa dinalar dengan lahiriyah.
Kedua aspek berfikir diatas harus terpenuhi dalam proses pendidikan, sehingga akan menghasilkan suatu keluaran (output) yang baik dan benar. Baik dalam artian dapat dinilai positif oleh norma dan hati nurani, sedangkan benar berarti dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh aspek keilmuan. Terpenuhinya kedua aspek diatas akan menimbulkan sesuatu yang kebenarannya sempurna (Haq) dan memberikan manfaat (barokah). Hal inilah yang yang disebutkan sebagai mentalitas positif yang harus ada dalam substansi,misi,dan institusi pendidikan.
Dalam kesinambungannya, pembentukan mental positif diatas tentu harus disertai Iman dan Taqwa yang seperti disebutkan pada aspek ruhiyah(bathin) sehingga tercapainya keselarasan hidup yang berpegang pada suatu prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan akhir dari proses pembentukan mental positif melalui pendidikan tersebut adalah terciptanya masyarakat yang mempunyai kesadaran (awareness) hidup sebagai hamba Tuhan dan mahluk sosial yang memiliki ilmu dan kasih sayang dalam setiap perilaku hidupnya. Dengan terpenuhinya hal-hal tersebut, maka perbaikan bangsa bukanlah suatu hal yang mustahil atau sangat sulit, karena tiap elemen bangsa telah sadar apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Dalam cakupan yang lebih luas lagi, maka terpenuhinya aspek-aspek diatas akan menjadi pendorong terciptanya suatu ummat yang dapat menjadi rahmatan lil alamin, yaitu menjadi pewaris dan pengelola yang baik bagi alam. InsyaAllah.
Wallahu a’lam bishowab
Kupersembahkan Untuk :
. – Ibu/Bapak , sebagai guru yang baik bagi putra putrinya dan murid-muridnya
– Ibu, marah(dengan kasih sayang)mu adalah penerang jalanku dan belaianmu adalah penenang hatiku (missing it so much).Bapak, tamparan dan tutur kata mu adalah penguat jiwaku. Maaf, kemaren wisuda tidak bisa nginep di villa yang bagus,hanya penginapan kecil. tabungan anakmu tidak cukup.
– Seluruh Guruku dan pendidikku , diwakili Pak Wagiran (SD), Bu Endri (SMP), Pak Marwan (SMA), Pak Grandis (ITB).
– Pipit, Be a Good Girl !!
Inspired by references :
– Al Qur’an nur kariim.
– Kitab Nashaihul Ibad.
– Agenda generasi Intelektual (Prof Dr S.A Munawar , Prof Dr Quraish Shihab).
Editors :
– You (reader).
– Allah SWT .
-6.884594
107.609430