Archive for ‘humanity’

January 8, 2011

Tentang Negeriku

Sebuah negeri yang sangat elok

Pecahan surga, yang membuat semua mahluk betah dan nyaman

Hanya satu mahluk yang menjadi kunci, manusia

Lantas kenapa aroma surga seolah hilang

 

 

kawan, adam melakukan kesalahan besar ketika dia berada di surga

maka kenikmatan itu adalah potensi untuk lalai, dan lalai adalah sifat manusia

Tuhan maha pengampun,…

namun apakah lalai itu harus diteruskan?

apakah peringatan dan ancaman tidak cukup?

sungguh aku takut ketika iblis berkata “Tuhanmu maha pengampun kok,santai saja”

 

 

apalagi ketika yang benar dan yang salah sudah nyata,

apakah masih diteruskan kekonyolan ini

ketika pagar malah merusak tanaman,

ketika uang dan jabatan dijadikan tuhan,

ketika norma dan hukum hanya suatu kata yang tidak mempunyai arti

 

 

ketika semua tidak dapat dirubah oleh manusia

maka Tuhan berhak merubah, tentu dengan caraNya

dan tahukah, bahwa Tuhan itu Maha Besar

caraNya pun tentu saja sangat dahsyat

 

 

aku sungguh takut pada keadaan ini

keadaan yang hanya bisa kulihat, tanpa bisa merubahnya

entah…

aku hanya minta ampun, padaMu ya Rabb

== QS 4/131-135 ==

Tags: , ,
December 21, 2010

Renungan Hari Ini

Sore hari saya melihat TV yang menyuguhkan acara yang menyajikan Bapak Mahfud MD. Disitu diutarakan pentingnya penegakan hukum secara Adil dan Bijaksana…

Sebagaimana diketahui bahwa kisah Nenek Minah dan Gayus, adalah kisah yang resiprokal dan menjadi kaca bagaimana wajah penegakan hukum di negara ini. Ironis memang, seorang nenek yang mengambil 3 buah kakao menjadi bulan-bulanan hukum (dalam hal ini pihak dari PT,yang merasa dirugikan). Padahal tidak mungkin 3 biji kakao itu merugikan perusahaan, dan efek jera dan psikologis apalagi yang ingin diberikan pada nenek tua yang pemikirannya sangat sederhana itu. Apakah efek psikologis itu tidak dipikirkan? sangat tidak bijaksana apabila disebut manusia.

Lalau kasus gayus?? ah saya mau komentar apa…semua orang sudah tau bahwa itu adalah urusan politik. Urusan konspirasi tingkat tinggi, yang sebenarnya ujung2nya cuma satu. Keserakahan. Dan uang sudah begitu dituhankan, apalagi daya hukum?? kita bertuhankan uang, uang adalah kebenaran yang nyata.

Lalu Bapak Mahfud menyitir salah satu Hadist Rasulullah yang menyatakan bahwa jika negeri2 besar dahulu hancur karena tidak ditegakkannya hukum karena kekuasaan dan kekayaan. Lalu dilanjutkan, hukum harus ditegakkan tanpa kecuali. Bahkan Rasulullah berkata bahwa jika anaknya sendiri Fatimah mencuri, maka beliau sendiri yang akan memotong tangannya…

Subhanallah…adakah penegak hukum yang mempunyai loyalitas seperti itu?? 

Saya yakin ada, hanya terkadang kita sendiri yang menutupinya, dengan kepentingan, keserakahan…hingga mutiara tersebut melepuh dan hilang di dunia fana ini…

Tags: , ,
June 3, 2010

Tentang kelakuan israel kali ini

Saya tidak perlu berkoar koar menghujat bahwa mereka (israel.red) itu kurang ajar, tidak beradab, keji’ dan lain-lain (lha itu apa??)

yang jelas tindakan mereka salah.

saya hanya ingin bergumam ketika ada wawancara di radio dengan Bpk. Hidayat Nurwahid yang beliau menyatakan bahwa kelakuan israel kali ini mulai membuat liga arab bersatu dan bahkan Mesir dan Turki sudah membahas panjang lebar untuk membawa masalah ini untuk diselesaikan dengan seadil-adilnya.(kalo Turki mungkin : segeram-geramnya) 

anyway…mungkin ini bisa menjadi tolak-balik

dimana amerika sudah kehilangan taring…sedang krisis….tentu saja israel juga ikut lemah.

lalu?? 

mungkin israel semakin terdesak dengan ulahnya sendiri yang sudah keterlaluan. mungkin sebentar lagi keadaan di gaza dan timur tengah juga akan berbalik

———————–

ketika waktunya, maka kebenaran itu akan menemui kemenangan dan keadilan akan terjadi’.

wallahu a’lam

———————————————-

May 2, 2010

Ilmu Yang Berserakan

[Prolog- Hari Wisuda]

10 April 2010 adalah hari dimana saya terdaftar sebagai wisudawan ITB yang kedua pada tahun ajaran 2009/2010. Beberapa hari sebelumnya saya sudah disibukkan dengan macam-macam persiapan seperti melaundry, mencari penginapan untuk orang tua dll.

Pada hari itu saya pertama kali memakai pakaian resmi lengkap (Kemeja, Jas, Pantofel) dan ditambah pula dengan “toga” yang kebesaran. Sehari sebelumnya orang tua dan adik saya datang dan dijemput di stasiun oleh Mbak Ita saudara kami. Lalu pada pagi hari , hari H, saya menjeput di penginapan, dan kami berangkat bareng dengan diantar mobil oleh Mbak Ita dan Suaminya ke Sabuga.

Setelah berfoto-foto di kampus yang diadakan oleh himpunan, kemudian Ibu/Bapak bergegas ke sabuga dan saya menyusul kemudian. Setelah  adik saya titipkan ke adik tingkat di himpunan karena undangan hanya untuk dua orang, saya menunggu pintu dibuka dengan teman selulusan sambil berfoto-foto sebentar di luar gedung.  Sekitar jam 8 kami masuk ke dalam dan acara wisuda tersebut dimulai.

Bagi saya ini adalah wisuda pertama. begitu pula rektor, Bapak Ahmaloka, karena beliau baru dilantik. Pidato pembukaan oleh Bapak Rektor sangat berkesan karena dengan gayanya yang sedikit lucu suasana sidang terbuka tersebut tidak menjadi tegang. Di sela-sela acara diperdengarkan pertunjukkan angklung dan gamelan yang disempurnakan oleh paduan suara.

Setelah mengucap janji sarjana (kalau gak salah) 😀 sambil berdiri, maka prosesi terakhir yaitu salaman dengan rektor, dekan dan ketua jurusan dimulai. Hal ini adalah prosesi yang paling lama dan melelahkan bagi Bapak Rektor, karenanya setelah wisudawan s2 dan s3 selesai beliau dipersilahkan rehat oleh protokol. Dengan gesture yang “sangat lega” sambil tetap tersenyum lucu beliau meninggalkan tempat salaman sejenak yang diiringi oleh riuh para wisudawan sambil bertepuk tangan untuk menyemangati. Hehe

[– Selamat Hari Pendidikan ]

Sejenak ketika jeda, sambil mendengarkan persembahan musik dalam gedung tersebut saya menyempatkan diri untuk membuka-buka buku wisudaan yang berisi daftar wisudawan dan judul tugas akhir atau tesis mereka. Saya jadi bergumam, ketika setiap 4 bulan sekali satu perguruan tinggi meluluskan ribuan mahasiswa dengan ribuan judul penelitian, lalu berapa persen dari beribu-ribu karya ilmiah tersebut dapat diaplikasikan??. Berapa persen penelitian-penelitian tersebut yang diteruskan dan disempurnakan menjadi hasil nyata??

Tarohlah jika penelitian di tingkat s1 belum layak untuk diaplikasikan atau masih sangat “cupu”, maka masih ada sekitar 500 an penelitian dari jenjang s2 dan s3. Apakah memang hasil penelitian mereka itu tidak ada yang bisa digunakan? ataukah hal yang lain?? Padahal, biasanya para mahasiswa memilih suatu topik tugas akhir tentu saja karena ketertarikan untuk mengembangkan ilmu dalam bidang tersebut. Lantas kemana larinya hasil idealisme dan harapan mereka yang pada saat mengerjakan tugas akhir seperti orang stress atau sampai jadi jarang mandi itu. Apakah mereka memang hanya menginginkan itu terhenti pada gerbang kelulusan saja?? saya rasa tidak demikian.

Menurut saya, terhentinya hasil penelitian mereka adalah karena keterbatasan ekonomi dan tidak adanya kepedulian dari lembaga-lembaga yang terkait. Namun, kita juga tidak bisa menyalahkan lembaga-lembaga terkait tersebut karena pada hakikatnya mereka juga sedang”kekurangan” karena anggaran mereka tidak memungkinkan untuk dialokasikan dalam hal-hal tersebut. Lain dari itu, budaya bangsa kita dalam inovasi dan pengembangan teknologi sangat kurang. Istilahnya kurang greget, atau setengah-setengah. Harusnya ketika kita melihat para pelajar Indonesia bisa menjuarai beberapa Olimpiade sains mengalahkan negara-negara maju, kita harus tertampar. Kita harusnya sudah bisa mengindikasikan bahwa sebenarnya sumber daya manusia bangsa kita adalah salah satu yang terbaik. Jika itu sudah dapat menjadi indikasi, maka mengapa seolah pemerintah memutus kuncup-kuncup yang sangat berharga yang sedang berproses untuk mekar sempurna tersebut?? kenapa hal tersebut terjadi??. Sudah jelas karena pada seluruh lembaga-lembaga yang terkait terdapat oknum yang mempunyai “kepentingan-kepentingan” pribadi yang sangat tidak terkontrol.

Dalam kehidupan manusia, tentu kepentingan pribadi “nafsh” merupakan hal yang fitrah dan harus ada untuk mempertahankan hidup. Hal tersebut tidak dapat dihilangkan. Namun jika tidak terkontrol, nafsh atau nafsu tersebut akan menjadi berbalik mengontrol tiap perbuatan manusia dan menjadikan manusia lebih seperti hewan yang setiap tingkah lakunya hanya didasari nafsu dan naluri. Untuk itu, dalam membentuk karakter manusia seutuhnya maka manusia harus menggunakan akal-pikiran-budi yang dianugerahkan Tuhan. Kemampuan manusia untuk secara kontinu mengontrol nafsu, emosi dan naluri dengan berpedoman pada akal budi bisa didefinisikan sebagai mentalitas. Mentalitas merupakan sesuatu yang berhubungan dengan keadaan jiwa(ruhiyah) manusia dan hati (qolbu). Sedangkan aspek ruhiyah dan qolbu tersandar pada alam bawah sadar manusia yang menuntun kepada keagungan Sang Pencipta (Rabb). Maka tentu dalam pembentukan mental, tidak bisa dilepaskan dari aspek “Keimanan” yang ada pada diri seseorang.

Kurangnya MENTAL POSITIF, di dalam sistem kebangsaan kita merupakan hal yang menghentikan ilmu tersebut menjadi hal yang bermanfaat (barokah). Kata pendidikan seharusnya tidak hanya menjadi nama sebuah instansi, namun benar-benar dimaknai secara mendalam dan difahami sebagai landasan hidup dalam konteks pembelajaran dan pembangunan. Pendidikan menurut definisi pribadi saya yaitu Usaha untuk membangun mental, integrasi dari karakter dan kesadaran untuk mewujudkan budi pekerti dan jalan berfikir yang benar. Dalam hal ini, pendidikan merupakan sistem yang disusun sedemikian rupa untuk membuat manusia mencapai kedewasaan dalam berfikir. Berfikir, dalam Islam tidak hanya mempunyai arti sebagai kata kerja untuk menyelesaikan masalah (problem solving), namun juga berarti sebuah perenungan (contemplation). Jika problem solving lebih mengedepankan ke arah kemampuan kognitif yang berdasarkan logika dan pengetahuan, maka contemplation lebih mengedepankan kepada penggunaan emosi dan spiritual. Dalam problem solving kita dituntut untuk dapat menggunakan logika untuk menganalisa kenampakan fisik(lahiriyah) dan segala sesuatu yang terukur. Contemplation merupakan sisi penyeimbang, dimana dalam proses berfikir pada aspek ini mengedepankan kedewasaan (maturity) dan kebijaksanaan (wise) dalam penilaian akal-budi dan hati nurani. Jika dalam logika kita hanya melihat aspek lahiriyah sebagai ukuran, maka dalam perenungan kita menggunakan “bathin” sebagai sesuatu yang tidak bisa kita ukur secara lahiriyah. Bathin merupakan sifat Sang Pencipta Alam Semesta(Rabb Al Alamiin) yang menunjukkan kebesaran dan pengetahuannya yang tidak terbatas sehingga akal manusia harus berserah diri tentang apa-apa yang tidak/belum diketahuinya yang tidak bisa dinalar dengan lahiriyah.

Kedua aspek berfikir diatas harus terpenuhi dalam proses pendidikan, sehingga akan menghasilkan suatu keluaran (output) yang baik dan benar. Baik dalam artian dapat dinilai positif oleh norma dan hati nurani, sedangkan benar berarti dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh aspek keilmuan.  Terpenuhinya kedua aspek diatas akan menimbulkan sesuatu yang kebenarannya sempurna (Haq) dan memberikan manfaat (barokah). Hal inilah yang yang disebutkan sebagai mentalitas positif yang harus ada dalam substansi,misi,dan institusi pendidikan.

Dalam kesinambungannya, pembentukan mental positif diatas tentu harus disertai Iman dan Taqwa yang seperti disebutkan pada aspek ruhiyah(bathin) sehingga tercapainya keselarasan hidup yang berpegang pada suatu prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan akhir dari proses pembentukan mental positif melalui pendidikan tersebut adalah terciptanya masyarakat yang mempunyai kesadaran (awareness) hidup sebagai hamba Tuhan dan  mahluk sosial yang memiliki ilmu dan kasih sayang dalam setiap perilaku hidupnya. Dengan terpenuhinya hal-hal tersebut, maka perbaikan bangsa bukanlah suatu hal yang mustahil atau sangat sulit, karena tiap elemen bangsa telah sadar apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Dalam cakupan yang lebih luas lagi, maka terpenuhinya aspek-aspek diatas akan menjadi pendorong terciptanya suatu ummat yang dapat menjadi rahmatan lil alamin, yaitu menjadi pewaris dan pengelola yang baik bagi alam. InsyaAllah.

Wallahu a’lam bishowab

Kupersembahkan Untuk :

. – Ibu/Bapak , sebagai guru yang baik bagi putra putrinya dan murid-muridnya

–          Ibu, marah(dengan kasih sayang)mu adalah penerang jalanku dan belaianmu adalah penenang hatiku (missing it so much).Bapak, tamparan dan  tutur kata mu adalah penguat jiwaku. Maaf, kemaren wisuda tidak bisa nginep di villa yang bagus,hanya penginapan kecil. tabungan anakmu tidak cukup.

–           Seluruh Guruku dan pendidikku , diwakili Pak Wagiran (SD), Bu Endri (SMP), Pak Marwan (SMA), Pak Grandis (ITB).

–          Pipit, Be a Good Girl !!

Inspired by references  :

–          Al Qur’an nur kariim.

–          Kitab Nashaihul Ibad.

–          Agenda generasi Intelektual (Prof Dr S.A Munawar , Prof Dr Quraish Shihab).

Editors :

–          You (reader).

–          Allah SWT .

November 8, 2009

Hukum dan Hati Nurani

Melihat kasus yang populer disebut kasus“cicak dan buaya” itu kemaren membuat saya sedikit mengernyitkan dahi. Masalah tersebut beberapa hari ini terus menghiasi media baik cetak dan elektronik  yang terus berlomba-lomba menyajikan info teraktual mengenai masalah tersebut.

                Rekaman yang merupakan kunci kasus telah dibeberkan, dan sebagian masyarakat dari kalangan intelektual maupun buta hukum mengikuti . Mungkin diantaranya bahkan bisa memahami secara jelas.

Nah, disini saya hanya memberikan pandangan saya untuk para advokat dan pengacara. Seperti yang diketahui bersama bahwa profesi pengacara adalah profesi yang menjadi pembela seseorang yang terkena perkara hukum. Tentu pembela merupakan pihak yang membela dan memberikan bantuan hukum kepada kliennya. Namun, terkadang seseorang pengacara dengan gayanya tidak menyadari bahwa “profesi-nya” itu yang pertama haruslah berlandaskan kebenaran dan keadilan. Sekarang, tampak sangat jelas bahwa banyak para pengacara atau advokat sebegitu mudahnya “menjual” kebenaran dan keadilan itu dengan “profesi”. Bahkan, yang sangat keterlaluan adalah seorang pengacara atau advokat senior yang memainkan pasal-pasal untuk memutar balikkan konsekuensi dan berupaya untuk melindungi seorang kliennya yang jelas-jelas bersalah.

Ketika dua orang advokat senior sedang berdebat misalnya, tentu saja  saya tidak akan bisa menyaingi mereka tentang pengetahuan pasal-pasal hukum atau sejenisnya. Namun yang saya tangkap, beberapa advokat senior itu terkadang ngotot dan bersikeras dengan pasal-pasal dan logika hukumnya walaupun secara sepintas mereka itu kadang “hanya mendasarkan pada ke’pakar’an-nya atau sombong”. Jika begitu, kebenaran mungkin akan menjadi suatu komoditas yang merupakan “lahan” bagi para advokat yang bekerja untuk uang dan bukan berkerja untuk suatu kebenaran dan keadilan. Pastinya, hukum pun akan selalu bisa dipermainkan dan “rapuh” sehingga seperti saat ini, masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada perangkat dan lembaga hukum yang terlalu banyak torehan nilai merahnya.

                Mungkin ketika mereka dulu, para advokat itu belajar hukum mereka kurang dididik dengan budi perkerti dan ahlaq yang benar. Bahkan, terkadang mereka itu lupa ataukah melupakan ataukah mereka itu memang bodoh bahwa hukum itu ada karena “substansi” nya. Tentu saja substansinya secara global merupakan penegakan kebenaran, keadilan dan kemanfaatan bagi umat manusia.

Jadi ketika saya melihat seorang praktisi hukum berbicara yang ngotot dengan “pasal-pasal” yang sebenernya di pasal itu juga tidak jelas atau tidak rinci, yang hanya dengan permainan kata-kata saja dia bisa memainkan, maka saya bisa menerka bahwa orang tersebut sudah menyimpang dari yang semestinya. Padahal dalam hukum buatan manusia itu jelas tidak akan sempurna karena hanya merupakan konvensi. Dalam hal ini, tentu pasal-pasal tersebut harus jelas  dan dilihat dari sisi manapun harus memberikan manfaat. Ketika pasal tersebut belum bisa mengakomodir secara aktual maka tentu saja pasal tersebut boleh direvisi atau dikembalikan lagi kepada esensi dari pasal tersebut.

                Maka tentu saja, jika cara suatu menyikapi perkara selalu harus dengan pendekatan legal formal yang terjadi adalah bisa menjadi suatu pagar merusak tanaman, atau pedang menusuk pemiliknya sendiri. Dimana tanaman itu adalah benaran, keadilan dan kemaslahatan, dan pagar adalah hukum yang merupakan bentukan. Bukankah secara logika yang sangat mudah bisa dilihat, bahwa hukum atau perundangan itu bisa diamandemen atau dirubah, karena dia adalah bentukan. Namun anda tidak bisa merubah suatu nilai perbuatan budi pekerti. Tidak akan ada mencuri itu menjadi baik, menyakiti orang lain itu menjadi terpuji, walau dikutub selatan maka nilai-nilai hati nurani manusia yang diberikan Tuhan YME itu akan selalu berlaku. Begitu pula dengan masyarakat yang berteriak dengan hati nuraninya, apakah akan dikesampingkan terus, ataukah dituruti. Maka dalam hal ini, kearifan dari pemerintah adalah wajib. Jika masalah tidak bisa terselesaikan dan dunia semakin rusak, maka tunggu saja keputusan dan penyelesaian dari Sang Pencipta, ALLAH Azza Wa Jalla.

Wallahu A’lam Bishowab