Posting ini harusya setelah posting tentang kelulusan saya itu karena waktunya setelah acara sidang bulan Desember lalu.
Perlu diketahui bahwa keesokan harinya setelah sidang, saya dan Hanif, temen saya pelesir ke jogja untuk liburan dan sekalian merayakan “kebebasan” kami dari kejenuhan saat mengerjakan Tugas Akhir. Rencana itupun tanpa persiapan dan baru kepikiran selepas sidang.
– Cerita Dikit tentang Bus Bandung- JOgja :
Kita berangkat dari Bandung sore hari (magrib) dengan bus Kramat Jati jurusan Bandung-Solo. Dengan diiringi hujan bus itupun melaju ke arah timur pulau Jawa. Setelah berhenti untuk sholat dan makan di daerah Tasik saya baru sadar bahwa sopir bus tersebut hanya satu orang. Bayangkan, untuk perjalanan jauh atar propinsi yang ditempuh dalam waktu 11 jam tentu sangat riskan jika tidak ada sopir pengganti. Nahh, akhrinya hal yang saya khawatirkan terjadi juga…
Ketika hampir memasuki perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah sopir tersebut terlihat sangat mengantuk. Indikasi pertama adalah beliau(karena sudah umur) sering menguap. Laju bus nya pun dipelankan dan tersalip oleh para armada lain. Saya dan Hanif yang duduk pas di belakang sopir tentu sangat takut mengetahui hal itu. Kami berdua tidak bisa tidur dan terus berbincang berharap agar suara yang kami keraskan terdengar oleh sopir dan dia tidak jadi ngantuk.
Akhirnya, walaupun sampainya agak telat namun kami lega telah sampai jogja dengan selamat selepas subuh. Kami langsung mencari musholla dan sholat subuh sebelum menuju ke tempat neneknya Hanif.
– Hari Pertama di Jogja
Setelah kami sampai di tempat neneknya Hanif kami mandi dan sarapan yang disediakan oleh tantenya. Walaupun cuma tidur dikit dan tidak nyenyak dalam bus namun kami merasa tidak capek bahkan sangat bersemangat untuk langsung jalan-jalan di kota Jogja. Rencana kita pagi itu adalah ke Pantai Parangtritis yang saya belum pernah melihatnya walaupun sudah berkali-kali ke Jogja. Kami menuju Parangtritis dengan menaiki bus jurusan “Paris” yang merupakan singkatan dari Parangtritis. Bus trayek tersebut didominasi oleh bus-bus jelek yang mungkin sudah tidak layak jalan lagi dan pastinya akan tidak lolos juga kalau uji emisi. Pokoknya lebih parah dari kopaja atau metromini. Dalam perjalanan teman saya bergumam ketika melihat para nenek tua yang baru pulang dari pasar dengan semangatnya . Rata-rata umur mereka sekitar 65-75 tahun. ” Terlihat sekali bahwa kalau disini (Jawa red.) orang-orang tuanya masih mau kerja” katanya . “Iya, kalo di jawa orang tua itu malu kalo menyusahkan anak” jawabku. Lalu dari itu kami memperpanjang bahasan tentang orang Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda, Betawi dan masing-masing karakternya.
Setelah kami tiba di Pantai Parangtritis, ternyata saya tidak begitu tertarik oleh pemandangannya. Sangat standar dan sangat panas karena pada waktu itu hampir tengah hari. Karena itu saya dan Hanif hanya makan soto di dekat pantai. Setelah itu kami sholat Dhuhur. Namun ternyata si Hanif kurang puas makan soto tadi, jadi dia jajan lagi mie sedangkan saya hanya pesan minum sambil makan udang pasir goreng yang hampir mirip serangga. Walapun bentuknya aneh begitu, tapi rasanya enak dan renyah. Setelah itu, kami pulang ke ke arah kota Jogja…
- udang pasir krispi
– Malam Hari di Jogja
Dengan motor butut milik Pamannya Hanif, kami berkeliling2 Jogja. Pertama kami ke tempat saudara saya di daerah kotagede yang lumayan jauh. Dengan suasana malam dan motor butut menjadikan nuansa kebudayaan dan etnik khas jogja terasa kental. Ada sisi romantisme dan pesona gairah malam kota yang menjadi pusat budaya Jawa ini. Seadainya malam itu yang saya bonceng bukan cowok, tentu saja malam itu menjadi malam yang sangat romantis 😀
Setelah ramah tamah dan makan ikan lele di tempat saudara saya, kemudian kami menuju ke Pendopo deket malioboro untuk nonton wayang kulit. Sebenernya se kami juga agak nervous juga masuk, nanti ternyata acara itu hanya untuk kalangan terbatas, namun ternyata pendopo itu terbuka untuk umum. Ternyata wayang kulit itu merupakan rangkaian acara 1 suro/ Muharram (tahun baru Islam). Dalam pementasan wayang kulit itu menceritakan Arjuna (tokoh ksatria) yang berhasil menyelamatkan kahyangan dan akhirnya mendapat kehormatan menjadi raja di kahyangan. Bahasa yang dipakai dalam pementasan wayang kulit adalah bahasa Jawa Kawi (lama) yang sangat jarang orang yang bisa dengan baik, yang dari sekian jarang itu diantaranya tentu saja sang dalang. Namun walaupun kami kurang mengerti, kami tetap menonton sampai pagi. Terlihat si Hanif mulai dari tengah malam sampai subuh dalam kondisi setengah sadar, dan saya pun sebenernya juga kadang tertidur. Pementasan itu usai menjelang subuh, dan setelah sholat subuh kami pulang….
– Hari Kedua :
Saya diajak ke kaliurang, katanya se dari situ bisa melihat bekas lahar merapi. Akhirnya setelah janjian dengan sepupunya Hanif kami berangkat ke kontrakan sepupunya tersebut. Setelah itu kami berangkat ke kaliurang dengan naik motor. Saya membonengkan Hanif, dan si sepupu dengan cowoknya. Ternyata kawah itu jauh juga. Hampir 40 menit kami menempuh perjalanan. Setelah sampai di kawah udara terasa lebih dingin, karena memang diatas gunung. Pengunjung juga banyak yang berwisata ke tempat itu, walaupun tidak seramai di Tangkuban Perahu.
Merapi merupakan gunung yang aktif dan aktivitasnya terus dimonitor karena seringnya aktivitas vulkanik. Disitu juga terdapat bungker tempat perlindungan untuk apabila ada letusan dan laharnya membanjir. Namun bungker tersebut terbukti tidak berhasil, karena pada waktu letusan beberapa orang yang berlindung disitu malah menemui ajalnya. Akhirnya bungker itu tidak dipakai lagi dan hanya berisi pasir dan tanah, mungkin juga material bekas aliran lahar.
—-
Setelah capek naik turun dan juga sudah sore kami bergegas pulang. Si sepupu (yang saya baru inget namanya Anisa) Kembali ke kontrakannya, dan kami pulang ke rumah neneknya Hanif. Thanks a lot to Anisa with that pleasure’ 🙂
Setelah merasa capek saya sudah hilang, saya mengemasi barang-barang untuk sekalian pulang ke Trenggalek Jawa timur. Karena dari jogja ada bus 24 jam untuk jurusan surabaya, maka saya tidak bingung dan tidak perlu khawatir kemalaman. Setelah Sholat Ashar, saya pamit untuk pulang dan dianter oleh Hanif ke halte trans Jogja. Sebenernya saya mengajaknya untuk ikut, namun karena berbagai alasan akhirnya dia tidak bisa dan masih 2 hari di jogja sebelum kembali ke Jakarta.
Akhirnya dengan sisa-sisa capek, saya meluruskan otot saya di bus Jogja- Surabaya yang menyisir beberapa kota melintasi bagian tengah dan timur pulau Jawa….
FIN