Warung Angkringan

            Kata “angkringan” atau “angkring” mungkin sudah sangat akrab dalam kamus bahasa orang jawa terlebih di jawa timur atau jawa tengah. Kata “angkring” berarti nongkrong dalam bahasa Indonesia. Lalu “Warung Angkringan” bisa diartikan sebagai warung yang merupakan tempat untuk nongkrong. Ya enaknya mungkin bisa dibilang “cafe tradisional” 😀

          Tradisional disini dapat juga diartikan ” murah meriah/ ndeso/sederhana”. Betapa tidak, karena warung yang buka setelah senja itu hanya menawarkan kursi kayu yang ditempatkan pas di depan gerobak yang juga merupakan mejanya. Disitu tersedia jajanan gorengan mulai dari pisang goreng, tempe goreng ,minuman , dan juga nasi bungkus yang biasa disebut “nasi kucing”. Disebut begitu karena porsinya sangat kecil yaitu nasinya sekepalan tangan dan lauknya juga hanya ikan teri atau tempe.  Mungkin karena di jawa jika memelihara kucing biasanya dikasih makan seperti itu (nasi + teri) maka nasi bungkus itu dinamakan begitu. 

Dengan suasana yang cukup enak dan penerangan yang cukup (dalam hal ini cukup untuk melihat bahwa yang akan digigit itu makanan) warung ini memberikan nuansa romantis(glekk??!!) dan inspiratif (ohya??). 

           Memang kebanyakan yang berkunjung ke warung ini biasanya hanya untuk ngopi dan sedikit ngemil dan berbincang-bincang santai. Namun lebih dari itu, bincang-bincang santai sambil menikmati kopi atau susu jahe tersebut terkadang bisa mengarah kepada suatu bahasan yang serius, bahkan ada juga para “petinggi mahasiswa” yang rapat atau membicarakan langkah strategis sambil lesehan di emperan yang digelari tikar itu.

          Memang jika di cafe modern, perbincangan pun bisa dilakukan. Namun jika dilihat lebih dekat lagi ada sesuatu yang “berbeda” dari sekedar gap modern-sederhana atau mahal-murah. Kesan dan bentuk warung yang “sangat sederhana” tersebut memberikan stigma dan nuansa tersendiri bagi orang-orang urbanis (termasuk saya) dan juga orang mapan yang suka mode urbanis. Kesederhanaan itu memberikan energi yang mungkin bagi beberapa orang untuk berfikir kritis dan tanggap. Selain itu kesederhanaan tersebut juga membuat suasana akrab yang terbentuk dengan sendirinya antar pengunjung warung walau belum saling kenal, seolah ada rasa kebersamaan yang terbungkus dalam suasana tersebut. Tak jarang seseorang yang membahas sesuatu yang aktual misal politik, banyak yang ikut nimbrung atau komentar. Ada juga yang share tentang pengalaman hidupnya, idealismenya , juga harapan bagi bangsa dan negara yang semua itu dapat didengar oleh sekerumun mahluk yang ada disitu.  

DSC00128

Tentu saja hal tersebut jarang atau bahkan mungkin tidak bisa didapatkan di cafe modern yang terbalut oleh gaya hidup individualis. Lebih lebih lagi bahwa kebanyakan bangsa Indonesia terpengaruh oleh budaya konsumtif yang kebablasan yang mengedepankan “prestige” dan ” glamour” yang sebetulnya belum tentu lebih produktif dan berkualitas. 

          Mungkin nuansa angkringan itu bisa disebut Suatu nilai positif dan dinamis yang dibalut budaya sederhana. Dan saya sangat setuju jika bangsa Jepang yang notabene produktifitasnya tinggi dan memiliki teknologi yang hebat tidak pernah membudidayakan budaya konsumtif walaupun mereka bisa. Mereka masih mau mengayuh sepeda untuk berbelanja dan jalan kaki. Gaya hidup hemat dan memanfaatkan apapun sebaik-baiknya merupakan nilai tambah yang membuat mereka menjadi bangsa yang paling produktif di dunia.

jadi kalau sederhana dan hemat itu baik, kenapa tidak ditiru ??  

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: